Obat – Alkes

Pengobatan Tuberkulosis (TB) di Indonesia, baik TB paru maupun TB ekstra-paru, mengikuti pedoman nasional yang disesuaikan dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pengobatan ini bertujuan untuk :

  1. membasmi bakteri Mycobacterium tuberculosis
  2. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien
  3. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
  4. Mencegah kekambuhan TB
  5. Mengurangi penularan TB kepada orang lain
  6. Mencegah perkembangan dan penularan resistan obat

Pengobatan TB di Indonesia menekankan pendekatan yang terkoordinasi antara layanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier untuk memastikan pengobatan yang tepat,  berkesinambungan, mampu mengurangi risiko resistensi obat, dan memastikan pasien TB dapat sembuh sepenuhnya. Pengobatan utamanya menggunakan Obat Anti-Tuberkulosis (OAT) yang diberikan secara adekuat. Prinsip pengobatan yang adekuat harus terdiri dari:

  1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT (Obat Anti-TB) yang tepat:
    1. Pengobatan TB dilakukan dengan menggunakan kombinasi minimal 4 jenis obat anti-TB (OAT) selama fase intensif, yaitu Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E).
    2. Kombinasi ini bertujuan untuk membunuh bakteri TB secara efektif dan mencegah munculnya resistensi terhadap obat.
  2. Diberikan dalam dosis yang tepat:
    1. Setiap obat diberikan dengan dosis yang telah ditentukan sesuai dengan berat badan dan kondisi klinis pasien untuk memastikan efektivitas pengobatan dan meminimalkan efek samping.
  3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat):
    1. Pasien harus meminum obat setiap hari sesuai jadwal yang ditetapkan dan di bawah pengawasan langsung PMO untuk memastikan kepatuhan terhadap pengobatan.
    2. Konsistensi dan ketepatan dalam mengkonsumsi OAT masih menjadi salah satu tantangan besar dalam pengobatan pasien TB
    3. PMO dapat berupa petugas kesehatan, keluarga, atau anggota komunitas yang dilatih untuk memantau pengobatan pasien.
  4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang sesuai dan tepat:
    1. Durasi pengobatan yang tepat sangat penting untuk memastikan kesembuhan total dan mencegah terjadinya resistensi obat.
    2. Pengobatan TB terbagi dalam dua tahap:
      1. Tahap Awal (Intensif):
        1. Dilakukan selama 2 bulan dengan 4 jenis obat (HRZE) untuk mengurangi jumlah bakteri aktif dengan cepatdan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
        2. Harapannya, dengan pengobatan teratur dan tanpa ada penyulit, daya penularan Mycobacterium TB sudah dapat diturunkan dalam 2 minggu pertama pengobatan.
      2. Tahap Lanjutan:
        1. Dilakukan selama 4-10 bulan dengan 2 jenis obat (HR) untuk membasmi sisa bakteri yang masih ada dan mencegah kekambuhan.

*PNPK Tuberkulosis 2020

Berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis 2020, seluruh pasien yang belum pernah mendapati pengobatan dan tidak memiliki faktor risiko resistensi obat harus mendapatkan pengobatan lini pertama yang sudah disetujui oleh WHO dengan menggunakan obat yang terjamin kualitasnya. Dengan dasar meta analisis, WHO merekomendasikan OAT lini pertama untuk pasien kasus baru adalah 2HRZE/4HR.

  • Pasien dengan TB Paru idealnya mendapatkan Panduan Obat 2HRZE/4HR dengan total pengobatan selama 6 bulan penuh.
  • Pasien dengan TB Extra-Paru seringkali memerlukan durasi pengobatan yang lebih lama dari 6 bulan.
  • Untuk pasien yang tinggal di area dengan tingginya prevalensi resistensi Isoniazid atau memiliki riwayat kontak dengan pasien TB resisten obat, pasien perlu dilakukan uji kepekaan obat terlebih dahulu.
  • Apabila dapat melakukan uji kepekaan obat dengan uji molekular cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka hasil ini digunakan untuk menentukan paduan OAT pasien.
  • Bila laboratorium hanya dapat melakukan uji kepekaan obat konvensional dengan media cair atau padat yang menunjukkan hasil dalam beberapa minggu atau bulan maka daerah tersebut sebaiknya menggunakan paduan OAT kategori I dahulu sambil menunggu hasil uji kepekaan obat.
  • Pada daerah tanpa fasilitas biakan, maka pasien TB dengan riwayat pengobatan diberikan OAT kategori 1 sambil dilakukan pengiriman bahan untuk biakan dan uji kepekaan
  • Uji kepekaan obat perlu dilakukan saat pengobatan dimulai untuk semua pasien dengan risiko memiliki TB resistan obat. Pasien dengan BTA tetap positif setelah menyelesaikan 3 bulan pengobatan, pasien dengan pengobatan yang gagal, dan pasien yang putus pengobatan atau kambuh setelah menyelesaikan satu atau lebih pengobatan harus diperiksa untuk memastikan kemungkinan resistensi obat.
  • Pada pasien yang diduga memiliki resistensi obat, pemeriksaan dengan TCM-TB, MTB/RIF perlu dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostik awal. Jika ditemukan resistensi terhadap Rifampisin, biakan dan uji kepekaan terhadap Isoniazid, Fluorokuinolon, dan obat-obatan suntik lini kedua harus segera dilakukan.
  • Konseling dan edukasi pasien dan pengobatan empirik dengan paduan lini kedua harus segera dimulai untuk meminimalisasi potensi penularan.

OAT merupakan sebuah kombinasi dari berbagai jenis obat yang memiliki kemampuan dan efektifitas dalam menekan Mycobacterium Tuberculosis, masing-masing obat OAT memiliki efek samping yang perlu diperhatikan oleh pasien dan tenaga kesehatan. Berikut adalah efek samping dari masing-masing jenis OAT:

  1. Isoniazid (H)
    1. Hepatotoksisitas (kerusakan hati), yang dapat menyebabkan hepatitis.
    2. Neuropati perifer (kesemutan atau nyeri di tangan dan kaki) akibat kekurangan vitamin B6 (piridoksin).
    3. Reaksi alergi seperti ruam kulit, demam.
    4. Gangguan lambung seperti mual, muntah, dan kehilangan nafsu makan.
    5. Depresi, psikosis (jarang terjadi).
  2. Rifampisin (R)
    1. Hepatotoksisitas (peningkatan enzim hati, hepatitis).
    2. Pewarnaan urin, air mata, dan keringat menjadi merah-oranye (tidak berbahaya, tapi dapat mengejutkan pasien).
    3. Reaksi gastrointestinal seperti mual, muntah, diare.
    4. Sindrom flu (demam, menggigil, nyeri otot) bila diminum secara tidak teratur.
    5. Trombositopenia (penurunan jumlah trombosit), yang dapat menyebabkan perdarahan.
    6. Reaksi alergi seperti ruam, pruritus (gatal).
  3. Pirazinamid (Z)
    1. Hepatotoksisitas (peningkatan enzim hati, risiko hepatitis).
    2. Hiperurisemia (peningkatan kadar asam urat dalam darah), yang dapat menyebabkan serangan gout (radang sendi).
    3. Ruam kulit, pruritus.
    4. Gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, dan kehilangan nafsu makan.
    5. Nyeri sendi (arthralgia).
  4. Etambutol (E)
    1. Neuritis optik (peradangan saraf optik) yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan, termasuk penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna (biasanya merah-hijau). Efek samping ini seringkali reversibel jika obat segera dihentikan.
    2. Ruam kulit, pruritus.
    3. Reaksi gastrointestinal seperti mual, muntah.
    4. Hiperurisemia, yang jarang menyebabkan gejala.
  5. Streptomisin (S) – untuk TB Resisten Obat
    1. Ototoksisitas (gangguan pendengaran atau tinitus), yang dapat bersifat permanen.
    2. Nefrotoksisitas (kerusakan ginjal).
    3. Ruam, demam.
    4. Reaksi lokal di tempat suntikan, seperti nyeri atau abses.
    5. Pusing atau gangguan keseimbangan.
  6. Fluoroquinolones (Misalnya Levofloxacin, Moxifloxacin) – untuk TB Resisten Obat
    1. Gangguan gastrointestinal seperti mual, diare.
    2. Ruam kulit, reaksi fotosensitifitas (kulit sensitif terhadap cahaya).
    3. Gangguan tendon (tendinitis atau ruptur tendon).
    4. Gangguan jantung (perpanjangan interval QT pada elektrokardiogram).
    5. Gangguan sistem saraf pusat seperti pusing, sakit kepala, insomnia, atau kejang (jarang).
  7. Linezolid (L) – untuk TB Resisten Obat
    1. Mielosupresi (penurunan jumlah sel darah, termasuk anemia, leukopenia, trombositopenia).
    2. Neuropati perifer dan neuropati optik bila digunakan dalam jangka panjang.
    3. Gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, diare.
    4. Ruam kulit.
    5. Hipertensi bila digunakan bersama makanan yang mengandung tyramine.
  8. Bedaquiline (B) – untuk TB Resisten Obat
    1. Efek jantung (perpanjangan interval QT pada elektrokardiogram).
    2. Mual, sakit kepala, nyeri dada.
  9. Delamanid (D) – untuk TB Resisten Obat
    1. Efek jantung (perpanjangan interval QT).
    2. Mual, muntah, sakit kepala.
    3. Hepatotoksisitas

Mengetahui efek samping dari masing-masing OAT dan cara penanganannya sangat penting untuk memastikan pasien dapat menjalani pengobatan dengan aman dan efektif.

Pencegahan dan Penanganan Efek Samping dapat dilakukan dengan:

  • Pemantauan Rutin: Pasien harus dipantau secara rutin untuk mendeteksi efek samping sejak dini, termasuk pemeriksaan darah dan tes fungsi hati.
  • Penggantian atau Penghentian Obat: Jika efek samping parah, dokter dapat menyesuaikan dosis atau mengganti obat.
  • Pemberian Suplemen: Untuk mencegah neuropati perifer akibat Isoniazid, sering kali diberikan vitamin B6 (piridoksin) secara bersamaan.

Alat-alat kesehatan penunjang berperan penting dalam diagnosis, pengobatan, penanganan, dan pencegahan Tuberkulosis (TB) di Indonesia. Berbagai alat kesehatan yang digunakan dalam diagnosis, pengobatan, penanganan, dan pencegahan TB di Indonesia berkontribusi besar terhadap upaya penanggulangan penyakit ini. Pemanfaatan alat-alat modern dan teknologi canggih membantu meningkatkan kecepatan, akurasi, dan efektivitas intervensi medis serta mengurangi penularan TB di masyarakat.

Berikut adalah daftar alat-alat kesehatan yang digunakan pada setiap tahap penanganan TB:

  1. Alat Penunjang Diagnosis TB
    Diagnosis TB memerlukan beberapa alat dan teknologi untuk mendeteksi keberadaan Mycobacterium tuberculosis dalam tubuh, mengidentifikasi resistensi obat, serta menilai tingkat keparahan penyakit.

    1. Mikroskop Fluoresensi dan Mikroskop Ziehl-Neelsen:
      1. Digunakan untuk pemeriksaan dahak dengan metode pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) atau pewarnaan fluorescent untuk mendeteksi bakteri tahan asam (Mycobacterium tuberculosis).
    2. Mesin Tes Cepat Molekuler (TCM) – GeneXpert:
      1. Alat berbasis PCR yang mampu mendeteksi DNA Mycobacterium tuberculosis dan resistensi terhadap Rifampisin dalam waktu sekitar 2 jam. TCM adalah teknologi utama untuk diagnosis TB dan MDR-TB (Multi-Drug Resistant TB).
    3. Radiologi Digital (Rontgen Dada):
      1. Alat rontgen digital digunakan untuk melihat gambaran radiologi paru-paru. Lesi TB sering kali tampak pada rontgen dada, sehingga alat ini penting untuk diagnosis dan evaluasi perkembangan penyakit.
    4. Alat Tes Mantoux (Tuberkulin Skin Test):
      1. Digunakan untuk mendeteksi reaksi terhadap antigen tuberkulin sebagai indikasi infeksi TB. Tes ini dilakukan dengan menyuntikkan PPD (purified protein derivative) ke kulit.
    5. Interferon-Gamma Release Assays (IGRA):
      1. Tes darah yang mengukur respons imun terhadap antigen TB, digunakan sebagai alternatif tes Mantoux, terutama untuk kasus TB laten.
    6. Alat Kultur Mycobacteria (MGIT – Mycobacteria Growth Indicator Tube):
      1. Digunakan untuk kultur bakteri TB dari spesimen pasien. Kultur adalah metode diagnostik yang lebih sensitif untuk mendeteksi TB, terutama untuk kasus dengan beban bakteri rendah.
    7. Sistem Sequencing Genomik:
      1. Digunakan untuk mengidentifikasi resistensi terhadap berbagai obat anti-TB dengan menganalisis seluruh genom bakteri TB.
  2. Alat Penunjang Pengobatan TB
    Pengobatan TB memerlukan beberapa alat untuk mendukung pemberian obat secara tepat, serta pemantauan efektivitas dan keamanan pengobatan.

    1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT):
      1. Berbagai jenis OAT termasuk Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, dan Streptomisin. Bentuknya bisa tablet, kapsul, atau suntikan, tergantung pada jenis obat dan kasus TB yang dihadapi.
    2. Alat Pengawas Menelan Obat (PMO) Digital:
      1. Aplikasi atau perangkat digital untuk memastikan pasien meminum obatnya secara teratur. Pasien bisa mengirimkan video atau foto sebagai bukti minum obat setiap hari.
    3. Sistem Manajemen Obat (Sistem Informasi Manajemen Obat TB – SIMO-TB):
      1. Sistem ini digunakan untuk mengelola distribusi obat anti-TB ke seluruh fasilitas kesehatan dan memastikan ketersediaan stok obat yang memadai.
  3. Alat Penunjang Penanganan TB
    Penanganan TB membutuhkan alat-alat untuk monitoring kondisi pasien, mendeteksi efek samping pengobatan, dan menangani komplikasi.

    1. Alat Monitor Fungsi Hati:
      1. Alat seperti alat uji fungsi hati (Liver Function Test – LFT) digunakan untuk memantau toksisitas obat pada hati, terutama karena hepatotoksisitas adalah efek samping umum dari beberapa OAT.
    2. Alat Elektrokardiogram (EKG):
      1. Digunakan untuk memonitor fungsi jantung pasien yang menggunakan obat seperti Bedaquiline atau Delamanid, yang dapat memperpanjang interval QT dan berisiko menyebabkan aritmia jantung.
    3. Alat Monitor Fungsi Ginjal:
      1. Tes darah dan urin untuk memantau fungsi ginjal, terutama pada pasien yang menerima obat nefrotoksik seperti Streptomisin.
    4. Nebulizer dan Inhaler:
      1. Digunakan untuk pemberian obat inhalasi dalam kasus TB paru yang disertai komplikasi seperti bronkitis atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
    5. Alat Spirometer:
      1. Digunakan untuk mengukur kapasitas paru-paru dan menilai tingkat keparahan serta perkembangan penyakit paru pada pasien TB.
  4. Alat Penunjang Pencegahan TB
    Pencegahan TB melibatkan upaya untuk mengurangi penularan dan meningkatkan kekebalan terhadap TB.

    1. Alat Ventilasi dan Penjernih Udara (HEPA Filters dan UVGI):
      1. Digunakan di fasilitas kesehatan dan area publik untuk mengurangi penularan TB udara. Filter HEPA (High-Efficiency Particulate Air) dapat menangkap partikel udara kecil, termasuk droplet yang mengandung bakteri TB. UVGI (Ultraviolet Germicidal Irradiation) digunakan untuk mensterilkan udara.
    2. Alat untuk Vaksinasi BCG (Bacillus Calmette-Guérin):
      1. Vaksinasi BCG diberikan kepada bayi untuk mencegah bentuk TB berat seperti TB milier dan TB meningitis. Alat seperti jarum suntik steril dan vial vaksin BCG digunakan dalam program imunisasi nasional.
    3. Aplikasi dan Platform Edukasi Kesehatan:
      1. Aplikasi dan website edukasi untuk memberikan informasi terkait TB, cara pencegahan, dan pentingnya deteksi dini. Ini membantu meningkatkan kesadaran dan mengurangi stigma di masyarakat.
    4. Geographic Information System (GIS):
      1. Alat ini digunakan untuk memetakan penyebaran kasus TB dan mengidentifikasi daerah dengan insiden tinggi, sehingga intervensi pencegahan dapat dilakukan secara lebih efektif dan terarah.